Sabtu, 07 Februari 2009

MANAJEMEN CINTA

MENGELOLA CINTA

Kapankah berakhir bicara cinta? Seolah tema yg satu ini tidak pernah berakhir untuk dibicarakan, dialami dan dirasakan oleh setiap orang. Memang demikian. Sebab tidak lain ia merupakan fitrah kemanusiaan dari Allah SWT.

Telah dijadikan indah dalam pandangan manusia cinta terhadap berbagai keonginan kepada perempuan (lawan jenis), anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda tunggangan (kendaraan), hewan ternak (piaraan) dan sawah lading. Semua itu kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah ada tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: ‘Maukah aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik dari semua itu? Bagi orang-orang yang bertakwa di sisi tuhannya ada surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaaruniai) pasangan-pasangan yang disucika serta keridloan Allah; dan Allah Maha Melihat hamba-hambanya’.”

(QS. Ali ‘Imron 3:14-15)

Karena cinta itu adalah fitrah manusia, maka wajar jika kemudian ia memiliki perasaan itu kepada sejumlah obyek sebagaimana diungkap dalam ayat di atas. Begitu pula, boleh saja manusia mencintai semua obyek kesenangan yang memang telah menjadi fitrahnya tersebut. Akan tetapi tentu saja kebolehan bukan berarti tidak terbatas. Sebab manusia diciptakan dengan penuh dengan keterbatasan dan berakibat baik jika ia memenuhi kebutuhan dan kesenangannya itu dalam batas-batasnya. Jika yang dilakukan malah melampaui batas, maka tentu saja hal tersebut di luar kemampuan dirinya dan karenanya ia sendiri yang akan hancur, rusak dan bahkan binasa. Masalahnya adalah manusia memiliki dorongan nafsu yang tidak pernah puas dengan kesenangan yang telah dirasakannya. Hawa nafsu selalu menuntut hal yang lebih dari yang telah dipenuhi. Maka memperturutkan kemauan dan dorongan nafsu menjadi awal kebinasaan itu. Jika hal ini disadari, mestinya manusia berupaya melatih kemampuan mengendalikan dorongan nafsu dalam dirinya. Jika nafsu tidak dikendalikan, maka ia akan selalu mengarahkan pemiliknya kepada perbuatan dosa, kemaksiatan dan pelanggaran (nafsul ammarah bissu’ 12:53). Namun jika kita senantiasa berupaya dengan sungguh-sungguh mengendalikannya, maka nafsu pun akan tunduk dan bahkan menjadi tentram dengan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT (nafsul muthmainnah). Pengendali nafsu adalah syariat yang diturunkan oleh Allah SWT, risalah samawiyah yang dibawa oleh Rasul-Nya dan akal yang didasari keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW. Cinta merupakan salah satu keadaan yang dirasakan dalam diri manusia yang tidak lepas dari campur tangan dan peran nafsu. Dalam kondisi tertentu menjadi sulit dibedakan antara cinta dengan nafsu. Seringkali lisan manusia mengucapkan cinta di hadapan lawan jenisnya padahal ia nafsu belaka yang dihiasi dengan ungkapan cinta. Namun juga adakalanya ia mamang cinta yang bersemi dalam hati yang kemudian terungkap lewat lisan yang mulia karena pemiliknya terbina oleh keimanan dan kejujuran. Cinta yang sebenarnya ini sangat memperhatikan aturan syariat yang ia yakini menyelamatkan dirinya dari tipu daya cinta yang dusta atau hawa nafsu yang dihiasi kata cinta. Tidak mudah memang mengenali dan kemudian mengelola perasaan cinta yang dalam kondisi tertentu begitu kuat terasakan dorongannya di dalam hati dan jiwa manusia.

Menjadi persoalan yang rumit memang mengarahkan dorongan cinta agar berbuah kemuliaan dan terselamatkan dari dorongan nafsu semata yang menghinakan kemanusiaan kita. Sebab jika dorongan nafsu yang lebih diperturutkan hingga ia menguasai diri kita, maka meluncurlah derajat kemanusiaan kita pada posisi sangat rendah dan menghinakan. Allah SWT mengilustrasikan demikian : “Pernahkah kamu perhatikan orang yang mempertuhankan hawa nafsunya? Apakah kamu bias menjadi pemelihara atasnya? Apakah kamu kira sebagian besar mereka mendengar dan berfikir? Mereka tidak layaknya binatang ternak saja, bahkan lebih sesat lagi jalannya.” (QS. Al-Furqon 25:43-44)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar